Prestasi dan Ambisi

Prestasi dan Ambisi

Banyak orang mencari kebahagiaan, namun lupa kesejahteraan! Banyak
orang mencari surga, namun lupa dunianya! Banyak orang membaca,
tetapi tidak mengerti banyak !

saya mendapat nilai A untuk pengenalan kata-kata, namun mendapat
nilai F untuk pemahaman kata-kata tersebut, demikian Robert T
Kiyosaki, penulis buku laris Rich Dad, Poor Dad, mengeluh tentang
kemampuannya membaca dan memahami tulisan.

Memang ternyata kita pun demikian, banyak yang hobi membaca, bahkan
tergolong pemborong buku-buku, tetapi dalam memahami apa yang dibaca
itu menjadi sesuatu yang perlu dipertanyakan pada diri sendiri. Tidak
jarang buku-buku yang dibeli berdasarkan ketertarikan indahnya desain
sampul, dan kata-kata sebagai promosi buku tersebut. Akhirnya buku
tersebut hanya menjadi penghuni lemari karena setelah dibolak-balik
untuk dibaca, pembacanya tidak tertarik lagi atau kesulitan memahami
apa makna yang diperoleh dari buku tersebut.

Demikian juga kehidupan, sering kali kita hanya tahu apa yang terjadi
dalam tahap-tahap kehidupan kita, tetapi kita tidak atau kurang
memahami apa yang menjadi atau akibat yang ditimbulkan dari perubahan-
perubahan dalam kehidupan itu sendiri.

Sekarang kita hidup dalam zaman perubahan yang sangat cepat. Sayang
terlalu banyak orang yang menaruh perhatian besar dalam hidupnya
hanya pada uang, harta benda yang dikumpulkan. Sangat sedikit dari
mereka yang memperhatikan pendidikan diri dan keluarga, terutama anak-
anak untuk bersikap fleksibel dalam menghadapi perubahan-perubahan
yang terjadi, yaitu pikiran yang terbuka, haus akan wawasan baru,
terus belajar bagaimana menjadi tumbuh semakin "kaya", serta bahagia
dalam perubahan-perubahan yang terjadi.

Kita banyak melihat contoh, seorang yang miskin suatu hari memenangi
suatu lotere yang bernilai uang sangat besar, tetapi beberapa tahun
kemudian kita mendapati dia hidup berkubang utang dan menderita lahir
batin tanpa uang sepeser pun di saku. Itu akibat dia tidak bisa
memanfaatkan apa yang sudah dipunyai, dia tiada kemampuan beradaptasi
dengan perubahan yang terjadi dalam hidupnya.

Contoh yang dicatat dunia adalah Charles Schwab, pemimpin perusahaan
baja terbesar di Eropa, dan Samuel Insull, presiden perusahaan jasa
terbesar di zamannya sekitar tahun seribu sembilan ratus dua puluhan.
Beberapa tahun kemudian dunia mendapati kedua orang itu mati dalam
keadaan bangkrut parah. Beberapa tahun mereka hidup menderita tanpa
uang dan makanan.

Lalu mereka ditemukan mati sebagai gembel, setelah dunia Barat
diguncang resesi ekonomi berat tahun 1929 dan mengakibatkan korban-
korban kebangkrutan dan yang bertahan hidup mengalami depresi berat,
sampai bunuh diri seperti yang dijalankan Jesse Livermore, pialang
saham terbesar di zamannya.

Ambisi Menjadi Racun

Kebanyakan kita selalu hidup dipenuhi dengan ambisi, walaupun hal itu
tidaklah salah, sebab hidup tanpa ambisi sama sekali menjadikan kita
kosong, tanpa tujuan dan monoton. Yang menjadi salah serta
menimbulkan masalah adalah kita diperbudak ambisi yang menimbulkan
mimpi-mimpi muluk tanpa melihat realitas lagi.

Sebagai contoh seseorang yang bercita-cita membangun gedung pencakar
langit, tentu saja diperlukan kerja keras untuk membuat dulu
fondasinya, agar bangunan kokoh dan aman. Tetapi, seseorang yang
hanya dipenuhi ambisi untuk menciptakan/memiliki gedung pencakar
langit, dia bisa berbuat di luar nalar, tidak melihat realitas lagi,
tanpa memedulikan apakah fondasi untuk cita-citanya tersebut sudah
direncanakan dan dibuat sebaik-baiknya.

Demikian juga dengan kehidupan, kita sering kali hanya mengejar apa
yang namanya harta benda, kita menimbun sebanyak-banyaknya, tetapi
kita lengah untuk belajar bagaimana harta benda itu bisa tetap kita
miliki dan bertumbuh dalam segala cuaca kehidupan. Yang terpenting
harta itu membuat kita hidup bahagia, bukan membuat susah dan gelisah
karena takut dirampok, takut kehilangan dan sebagainya.

Banyak orangtua merasa tenang jika sudah bisa mempunyai harta yang
dicita-citakan untuk diwariskan kepada anak-anaknya. Menurut orang
yang berpikiran seperti itu, semakin banyak harta yang bisa aku
berikan kepada anak, akan lebih baik dan tenanglah dirinya
menjalankan sisa hari tuanya.

Mewariskan harta benda yang berlimpah kepada anak-anak juga bukan hal
yang dilarang! Tetapi, alangkah bijaksananya kita sebagai orangtua
bila bisa mulai mengajari anak-anak kita untuk memelihara dan
menumbuhkan harta yang sudah kita limpahkan kepada mereka.
Kita melihat perusahaan keluarga di negara-negara maju, seperti
Amerika dan Eropa. Terkesan sampai sekarang hal itu tetap ada dan
bertambah maju dengan total aset yang semakin bertambah. Berbeda
dengan perusahaan keluarga yang berada di Tanah Air, kita melihat
begitu sang orangtua meninggal dan mewariskan kepada penerusnya, yang
terjadi adalah perebutan kekuasaan, dan ironisnya warisan tersebut
dipecah-pecah untuk dimiliki pribadi-pribadi dan menjadi berkeping-
keping, sehingga menjadi perusahaan kecil yang harus kembali bangkit
dan merintis secara baru lagi, sehingga tidak jarang kita melihat
perusahaan yang tadinya besar sekarang berubah menjadi perusahaan
baru yang berumur tidak lama karena tidak tahan dilibas keadaan dan
persaingan ketat dunia usaha.

Penulis pernah merenung tidak mengerti, kala mendapati kenyataan
seorang sahabat dilarang orangtuanya untuk menikah dengan anak orang
kaya yang berlimpah harta benda. Malah orangtua sahabat tersebut
memberi nasihat kepada anak gadisnya untuk memilih seorang karyawan
di perusahaannya, dengan keteria bahwa orang itu pintar, berbakat
dalam bidangnya, serta berdedikasi dalam pekerjaan.

Dalam pemikiran kebanyakan orang pasti bertanya: "Kenapa harus repot-
repot mencari yang baru akan mentas, kalau sudah ada yang berlimpah
harta kekayaan." Itu dilakukan setelah melihat kenyataan betapa
banyak anak-anak yang mendapat warisan berlimpah menjadi seorang
manusia yang hanya bisa menghambur-hamburkan uang dengan segala
ambisinya. Seberapa banyak pun jumlahnya harta warisan orangtua bisa
habis, bahkan dalam waktu cepat, jika pewarisnya tidak dibekali
pendidikan yang baik untuk mengelola aset dan akhlaknya. Sedangkan
seorang yang mempunyai bakat serta kerja keras dan berdedikasi, akan
mampu menjadi seseorang yang sukses, dan tentu saja yang berpotensi
mempunyai harta berlimpah. Itu dia dapatkan sebagai bukti perjuangan
hidupnya, bukan hanya sebagai penerima warisan, tetapi pencipta
kelimpahan untuk diri dan keluarganya.

Besar Pasak daripada Tiang

Nah, pepatah itu sangat popular, dan memang demikianlah keadaan
keuangan kita yang masih berada di tingkat menengah ke bawah. Kita
bekerja mengejar karier, agar mendapat penghasilan yang lebih besar,
tetapi sejalan dengan itu pengeluaran kita pun bertambah besar
seiring dengan keadaan, bertambah anak, biaya pendidikan, belum lagi
biaya hidup yang lebih maju dari pada upah kita di tempat bekerja.
Dengan siklus yang demikian, banyak pasangan muda frustasi dalam
menjalani hidup.

Sistem pendidikan di negara kita saat ini adalah mendidik anak untuk
mengasah otak, agar mendapat nilai bagus untuk tiap mata pelajaran,
sehingga jangan heran ketika anak-anak yang tidak melanjutkan ke
perguruan tinggi, selepas SMU saja pergi untuk bekerja sebagai tenaga
administrasi ringan, mereka kesulitan beradaptasi dengan pekerjaan
dan lingkungannya.

Banyak anak lulusan perguruan tinggi melamar pekerjaan dengan membawa
ijazah yang berisi nilai bagus, tetapi begitu bekerja yang dianggap
sesuai dengan bidang pendidikannya, mereka tidak bisa menyesuaikan
tuntutan pekerjaan. Mereka tidak siap menjadi profesional, mereka
kurang gigih dan kurang berdedikasi.

Nah, mengapa hal itu terjadi? Sebab, anak-anak tersebut hanya
mendapatkan pendidikan sekitar mata pelajaran, yaitu bagaimana
mendapat nilai bagus! Mereka tidak dibekali dengan bagaimana mereka
harus mengembangkan diri keluar dari apa yang didapat dari dalam
kelas. Mereka harus banyak belajar dan bertanya, membuka wawasan dan
mendengarkan saran dan yang terpenting berani menerima kritikan untuk
bisa maju.

Belum lama ini, penulis terkagum-kagum akan sistem pendidikan yang
diterapkan suatu perguruan tinggi, ketika dalam hal mendidik siswan
mereka mengembangkan perkembangan pribadi dan daya juang mereka.
Sebagai contoh, untuk bisa masuk dalam Club Senior yang diyakini oleh
juniornya, bahwa dalam club/kelompok itu mereka bisa mendapatkan
banyak wawasan dan pelajaran dari para senior, melebihi yang
diberikan dosen di dalam kelas.

Untuk memasuki Club Senior, kapasitas yang diterima hanya 500 orang.
Parajunior yang berjumlah 6.000 orang harus mendaftar dengan antrean
yang melelahkan, dan disaring melalui tiga gelombang penyaringan
selama tiga minggu berturut-turut.

Yang membuat kagum, para junior itu rela berangkat dari rumah jam
empat Subuh, agar sampai di tempat antrean 1 jam kemudian untuk
mendapat nomer antrean di bawah angka seratus! Sehingga, tidaklah
heran untuk para yunior yang berhasil masuk dalam kelompok itu
menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Para Senior yang ada dalam
kelompok itu tidak mengecewakan mereka, dalam memberi pengalaman-
pengalaman dan ilmu-ilmun mereka.

Dari contoh di atas, kita melihat Club Senior itu sudah menyaring
antara anak-anak yang gigih dengan anak-anak yang malas sebab tidak
jarang kita mendengar dari para yunior yang tidak mau ambil bagian
dalam kegiatan senior itu berkata dengan sinis: "Buat apa, susah-
susah masuk ke situ. Toh pelajaran yang benar kita dapat di dalam
kelas, dengan dosen-dosen yang punya kewajiban karena kita sudah
keluarkan biaya kuliah."

Penting kita melihat dan mengetahui peluang yang disodorkan ke
hadapan kita untuk hidup lebih maju dan bahagia. Sekali lagi jangan
terobsesi dengan ambisi, tetapi prestasi hiduplah yang harus kita
raih, dan perlu diingat prestasi sukses bukan hanya berupa tumpukan
harta benda, tetapi termasuk di dalamnya kebahagiaan lahir batin.
(by : Lianny Hendranata )

Comments

Popular Posts