Pertolongan Allah Itu Dekat

Pertolongan Allah Itu Dekat

Oleh Mujahid Alamaya

Beberapa hari yang lalu, ketika dalam perjalanan pulang menuju rumah, kira-kira sekitar pukul 20. 00 WIB, di tengah hujan yang cukup lebat, saya “memaksakan” diri untuk terus berjalan menyusuri gelapnya malam tanpa menggunakan payung. Mulanya saya tidak mau hujan-hujanan, tapi karena sudah kepalang basah dan telah berteduh dalam waktu yang cukup lama, akhirnya nekat untuk hujan-hujanan. “Dari pada menunggu hujan reda, entah berapa jam lagi, ” begitu pikir saya kala itu.

Setelah beberapa ratus meter berjalan, tiba-tiba di depan saya berhenti sebuah motor. Nampaknya seorang ibu. “Kenapa berhenti? Mungkin mau menanyakan alamat, ” pikir saya. Tapi, ketika berpapasan, “Mau ke depan? Ayo naik, ” ucap ibu itu. “Terima kasih, bu. Saya sebentar lagi sampai. ” jawab saya sambil kebingungan. “Hujan lho, ” timpal ibu itu. “Tidak apa-apa. Jalan kaki saja, ” saya berkeras. “Baiklah kalau begitu. Nuhun ya!” tutur ibu itu sambil berlalu mengendarai motor.

Di lain waktu, sekitar tahun 2006, saat saya sedang menuju rumah seorang teman di kawasan Karawaci – Tangerang, di tengah teriknya matahari siang itu, saya berteduh sejenak di bawah sebuah pohon, tapi masih tetap terkena sinar matahari. Saat itu, saya belum tahu lokasi persis rumah teman saya itu di sebelah mana. Saya hanya diberitahu rute-rutenya saja. Kalau sudah sampai, tinggal mengabari teman saya, dan ia akan keluar menjemput saya. Begitu kesepakatan antara saya dan teman saya.

Ketika sudah sampai di lokasi yang dimaksud, saya mengirim SMS kepada teman saya. Sambil menunggu jawaban, karena panas, saya berteduh di depan sebuah wartel. Beberapa saat kemudian, datang seorang ibu yang rupanya beliau adalah pemilik wartel tersebut. Ibu itu berkata, “Nunggunya di dalam saja. Di luar panas. ” Lalu ibu itu berkata kepada penjaga wartel, “Ambil minum buat mas itu. ” Tapi, tidak lama kemudian, teman saya datang dan saya pun berpamitan kepada ibu pemilik wartel itu.

Saya pun jadi teringat kejadian yang sampai saat ini tidak pernah saya lupakan, yakni kejadian pada pertengahan tahun 2001 lalu. Waktu itu, sepulang dari Ponorogo dengan menggunakan kereta, tiba di Stasiun Kiaracondong – Bandung sekitar pukul 9. 30 WIB karena keretanya mengalami keterlambatan. Ke luar stasiun, saya terheran-heran karena tidak ada angkot yang lewat. Ada yang lewat, tapi tidak mau menaikkan penumpang. Belakangan, baru saya ketahui kalau pada saat itu sedang terjadi mogok angkot di jalur tersebut

Saya Bingung pulang mau naik apa. Kalau naik taksi, takut uangnya tidak cukup. Setelah beberapa lama, saya pun memutuskan untuk kembali ke Stasiun Kiaracondong dan naik kereta menuju Stasiun Besar Bandung. “Mudah-mudahan angkot di sana tidak ikut mogok, ” harap saya. Tidak sampai 1 jam, saya tiba di Stasiun Besar Bandung. Tapi, ketika ke luar stasiun, jalanan lengang tidak seperti biasanya. Tidak ada angkot sama sekali. Maka saya pun memutuskan untuk berjalan kaki sejauh 8 km.

Baru saja berjalan beberapa puluh meter, ada seorang bapak yang mengendarai motor berhenti tidak jauh di depan saya. Ketika saya sudah berada di dekatnya, “Pulang ke mana?” tanya bapak itu. “Ke Ledeng, ” jawab saya singkat. “Ke mana?” tanya bapak itu lagi. “Ke Ledeng, pak. Sebelah utara Gegerkalong, ” jawab saya. “Oo, ke Gegerkalong. Ayo naik. Kita searah. Gegerkalongnya di sebelah mana?” kata bapak itu. “Bukan Gegerkalong, tapi Ledeng, pak. ” jawab saya dalam hati.

Motor pun melaju meninggalkan kawasan stasiun. Dalam perjalanan, bapak itu berkata, “Mogok angkot bikin repot semua orang saja. Kasihan kan mereka yang tidak punya kendaraan. Masa harus jalan kaki. Sebenarnya saya pulang ke Cimahi. Tadinya mau lewat Jl. Pajajaran. Tapi saya lewat Gegerkalong saja, terus ke Cihanjuang, sekalian mengantar. Nanti turunnya di mana?” Antara kagum, terharu, dan senang, saya pun menjawab, “Eh… Nanti saya turun di KPAD saja, pak. Terima kasih sudah mau mengantarkan. ”

Sepanjang perjalanan Stasiun Besar ke Gegerkalong, saya tidak banyak bertanya. Bapak itu pun demikian. Kurang dari setengah jam, saya sudah sampai di KPAD. “Sampai sini ya. ” kata bapak itu. “Iya, pak. Terima kasih. ” Tanpa sempat menanyakan namanya, bapak itu dengan cepat melaju ke arah Cihanjuang. Di KPAD, saya berharap semoga saja ada angkot komplek. Tapi ternyata tidak ada sama sekali. Rupanya pada ikut mogok semua. Akhirnya, saya masih harus berjalan sejauh 1, 5 km.

Sungguh mulia sekali mereka, mau menolong orang lain yang belum dikenal. Apa mereka itu tidak takut kalau orang yang akan ditolongnya itu berbuat jahat padanya? Entahlah, yang pasti, sikap yang dilakukan mereka untuk menolong orang lain sangat menggugah diri saya, yang selama ini selalu banyak pertimbangan ketika akan menolong orang yang belum dikenal karena takut orang yang ditolong saya itu akan berbuat jahat pada diri saya. Saya hanya sebatas waspada, bukan pilih-pilih.

Dari semua kejadian yang saya alami tersebut, tak henti-hentinya saya bersyukur kepada Allah SWT atas semua pertolonganNya ini. Saya pun makin yakin bahwa sesungguhnya pertolongan Allah SWT itu amat dekat, bahkan amat sangat dekat, tergantung bagaimana cara kita dalam menyikapinya. Dengan pertolongan Allah melalui hamba-hambaNya tersebut, saya diberikan berbagai kemudahan dalam berbagai hal. “Terima kasih, ya Allah. Engkau telah menunjukan Kasih SayangMu. ”

Comments

Popular Posts