Sensitif terhadap Waktu

Sensitif terhadap Waktu

Menunda amal kebaikan karena menantikan kesempatan yang lebih baik adalah
tanda kebodohan yang memengaruhi jiwa (Ibnu Atha’ilah) Sesungguhnya waktu
akan menghakimi orang yang menggunakannya. Saat kita menyia-nyiakan waktu,
maka waktu akan menjadikan kita orang sia-sia.

Saat kita menganggap waktu tidak berharga, maka waktu akan menjadikan kita
manusia tidak berharga. Demikian pula saat kita memuliakan waktu, maka
waktu akan menjadikan kita orang mulia. Karena itu, kualitas seseorang
terlihat dari cara ia memperlakukan waktu.

Allah SWT menegaskan bahwa orang rugi itu bukan orang yang kehilangan
uang, jabatan atau penghargaan. Orang rugi itu adalah orang yang
membuang-buang kesempatan untuk beriman, beramal dan saling
nasihat-menasihati (QS Al Ashr [103]: 1-3).

Menunda amal
Ciri pertama orang merugi adalah gemar menunda-nunda berbuat kebaikan.
Ibnu Athailah menyebutnya sebagai tanda kebodohan, “Menunda amal kebaikan
karena menantikan kesempatan yang lebih baik adalah tanda kebodohan yang
mempengaruhi jiwa."

Mengapa orang suka menunda-nunda?
Pertama, ia tertipu oleh dunia.
Ia merasa ada hal lain yang jauh berharga dari yang semestinya dilakukan.
Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang
kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. Demikian firman Allah
dalam QS Al A’laa [87] ayat 16-17.

Kedua, tertipu oleh kemalasan.
Malas itu penyakit yang sangat berbahaya. Orang malas tidak akan pernah
meraih kemuliaan di dunia dan akhirat. Tidak ada obat paling manjur
mengobati kemalasan, selain mendobraknya dengan beramal.

Ketiga, lemah niat dan tekad, sehingga tidak bersungguh-sungguh dalam
beramal.
Salah satunya dengan terus menunda. Seorang pujangga bersyair, Janganlah
menunda sampai besok, apa yang dapat engkau kerjakan hari ini. Juga, waktu
itu sangat berharga, maka jangan engkau habiskan untuk sesuatu yang tidak
berharga.

Tidak sensitif terhadap waktu
Ciri kedua, tidak sensitif terhadap waktu. Islam memerintahkan kita untuk
sensitif terhadap waktu. Dalam sehari semalam tak kurang lima kali kita
diwajibkan shalat. Sehari semalam, lima kali Allah SWT mengingatkan kita
akan waktu. Shalat pun akan bertambah keutamaannya bila dilakukan di
masjid, berjamaah dan di awal waktu. Karena itu, orang-orang yang
mendirikan shalat, pasti memiliki manajemen waktu yang baik.

Sesungguhnya, kita hanya akan perhatian terhadap sesuatu yang kita anggap
penting. Demikian pula dengan waktu. Jika kita menganggap waktu sebagai
modal terpenting, maka kita akan sangat sensitif dan perhatian
terhadapnya. Kita tidak akan rela sedetik-pun waktu berlalu sia-sia. Orang
yang perhatian terhadap waktu terlihat dari intensitasnya melihat jam. Ia
sangat sering melihat jam. Ia begitu perhitungan, sehingga kerjanya
efektif dan cenderung berprestasi. Penelitian menunjukkan semakin
seseorang perhatian dengan waktu, semakin berarti dan efektif hidupnya. Ia
pun lebih berpeluang meraih kesuksesan.

Orang sukses itu tidak sekadar punya kecepatan, namun ia punya percepatan.
Kecepatan itu bersifat konstan atau tetap, sedangkan percepatan itu
menunjukkan perubahan persatuan waktu. Artinya, orang sukses itu
senantiasa melakukan perbaikan. Hari ini harus lebih baik dari hari
kemarin. Hal ini senada dengan sabda Rasulullah SAW bahwa orang beruntung
itu hari ini selalu lebih baik dari kemarin. Lain halnya dengan orang
konstan; hari ini sama dengan kemarin. Rasul menyebutnya orang rugi.
Sedangkan orang yang hari ini lebih buruk dari kemarin disebut orang
celaka.

Saudaraku, orang yang memiliki percepatan, hubungan antara prestasi dengan
waktu hidupnya menunjukkan kurva L. Dalam waktu yang minimal, ia
mendapatkan prestasi maksimal. Itulah Rasulullah SAW. Walau usianya hanya
63 tahun, namun beliau memiliki prestasi yang abadi. Demikian pula para
sahabat dan orang-orang besar lainnya. Semuanya berawal dari adanya
sensitivitas terhadap waktu.

sumber : kolom hikmah - republika.co. id

Comments

Popular Posts