KEMAMPUAN MEMILIH

Menjaga kesadaran diri bahwa kita berkuasa membuat pilihan dalam situasi apapun, bukanlah hal yang mudah. Rasa tak berdaya dan perasaan menjadi korban dari suatu keadaan bisa membuat kita "terpaksa" melakukan suatu tindakan yang tak sesuai dengan keyakinan atau nilai yang kita junjung tinggi. Seperti orang yang tertangkap karena melanggar rambu lalu lintas bisa merasa "terpaksa" menyogok polantas agar segera dibebaskan dan dapat melaksanakan aktivitasnya yang "lebih penting". Atau seperti seseorang yang ingin mempercepat proses pengurusan surat-surat tertentu di kelurahan merasa "terpaksa" menyuap petugas kelurahan yang memang doyan "disuap".

Rasa tak berdaya atau perasaan menjadi korban semacam itu bisa membuat kita menghalalkan neka ragam tindakan yang tak baik. Karena tak punya uang, orang merasa "terpaksa" menjadi maling, copet, atau pencuri. Karena keluarga miskin dan tak punya bekal pendidikan formal yang memadai, sejumlah perempuan remaja "terpaksa" menjadi pekerja seks komersial. Karena gaji pegawai negeri dianggap tak mencukupi, maka sejumlah orang merasa "terpaksa" korupsi. Karena kepanasan atau kehujanan sejumlah orang merasa "terpaksa" mengeluh. Karena dimarahi, orang merasa "terpaksa" memukul, atau bahkan membunuh. Dan seterusnya.

Begitulah, di sekolah kehidupan kita sering menyaksikan neka ragam sikap dan tindakan dilakukan oleh seseorang karena "merasa terpaksa". Seolah-olah tidak ada pilihan lain atau tidak ada kemampuan untuk memilih yang lain, di luar yang "terpaksa" itu.

Benarkah orang lain, situasi, dan keadaan tertentu bisa memaksa kita untuk melakukan hal-hal yang tidak kita inginkan? Bisakah kita dipaksa untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai dan keyakinan pribadi kita? Saya tak memiliki jawaban yang mutlak. Namun sebuah cerita yang beredar lewat surat-surat elektronik berikut ini mungkin bisa menolong kita menyadari kembali potensi dan kemampuan yang kita miliki. Berikut kutipannya:

Dicky adalah manajer sebuah restoran. Ia selalu dalam keadaan bugar secara emosional. Ketika seseorang bertanya tentang kabar atau keadaannya, ia selalu menjawab dengan gembira, "Jika saya bisa lebih baik, saya pastilah kembar!".

Sejumlah pegawai restoran akan berhenti dari tempat kerjanya saat Dicky memutuskan pindah, agar mereka dapat ikut bekerja lagi bersama Dicky di restoran yang baru.

Mengapa?

Sebab Dicky adalah motivator yang handal. Jika seorang pegawai mengeluh tentang hidupnya, Dicky selalu bersedia mendengarkan, dan kemudian mengajak pegawai tersebut melihat situasi yang dialaminya dari sisi yang positif.

Melihat caranya yang demikian membuat saya sangat ingin tahu, sehingga suatu hari saya menemuinya dan bertanya langsung padanya: "Saya tak mengerti! Tidak seorang pun yang pernah saya kenal bisa bertindak selalu positif seperti Anda. Bagaimana Anda bisa demikian positif terhadap segala sesuatu?"

Dicky menjawab, "Setiap pagi saya bangun dan berkata pada diri sendiri, saya punya dua pilihan hari ini. Saya bisa memilih untuk merasa baik ATAU merasa buruk hari ini. Saya selalu memilih untuk merasa baik. Setiap kali ada hal buruk yang terjadi, saya masih bisa memilih merasa menjadi korban ATAU memilih untuk menarik pelajaran dari hal-hal tersebut. Saya selalu memilih untuk menarik pelajaran dari kejadian seburuk apapun. Setiap kali seseorang datang untuk mengeluh pada saya, saya bisa memilih untuk menerima keluhan mereka ATAU mencari sisi positif dari keluhan tersebut. Dan saya selalu memilih untuk mencari sisi positifnya."

"Tapi pastilah tidak selalu semudah itu," bantah saya.

"Ya semudah itu," kata Dicky.

"Hidup adalah soal pilihan-pilihan. Ketika Anda melihat semuanya dengan jernih, setiap situasi adalah sebuah pilihan. Anda memilih bagaimana merespons sebuah situasi. Anda memilih bagaimana orang lain mempengaruhi suasana hati Anda. Anda memilih untuk merasa baik atau merasa malang. Andalah yang memilih bagaimana menjalankan hidup Anda sendiri".

Beberapa tahun kemudian, saya mendengar kabar bahwa Dicky secara tak sengaja melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan oleh siapa pun yang mengelola bisnis restoran. Ia meninggalkan pintu belakang restorannya terbuka tak terkunci.

Lalu?

Pagi harinya ia dirampok oleh tiga orang bersenjata. Mereka menginginkan semua uang yang dimilikinya. Ketika Dicky mencoba membuka safe deposit box-nya, tangannya gemetar karena gugup, sehingga ia tak bisa memutar kombinasi yang tepat. Para perampok menjadi panik dan menembaknya sebelum kabur.

Untunglah, Dicky cepat ditemukan dan dilarikan ke rumah sakit terdekat. Setelah 18 jam operasi dan berminggu-minggu perawatan intensif, Dicky akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit dengan sejumlah pecahan peluru masih tertinggal dalam tubuhnya.

Saya bertemu lagi dengan Dicky sekitar 6 bulan setelah kejadian tersebut. Dan ketika saya menanyakan keadaannya, ia menjawab, "Jika saya bisa lebih baik, saya pastilah kembar. Mau lihat bekas lukanya?"

Saya menolak melihatnya, tetapi bertanya apa yang ada dibenaknya ketika perampokan berlangsung.

"Hal pertama yang melintas dalam pikiran adalah saya seharusnya mengunci pintu belakang," jawab Dicky.

"Lalu, setelah ditembak, saya terbaring dilantai, saya ingat bahwa saya memiliki dua pilihan: saya bisa memilih untuk mencoba bertahan hidup ATAU memilih mati. Saya memilih tetap hidup."

"Apakah Anda tidak merasa takut?" tanya saya.

Dicky meneruskan, "Paramedis sungguh luar biasa. Mereka mengatakan bahwa saya pasti bisa diselamatkan. Namun ketika mereka mendorong saya ke ICU dan saya melihat ekspresi wajah para dokter dan perawat, saya benar-benar menjadi takut. Dari sorot mata mereka, saya membaca `orang ini akan mati'. Saat itu saya tahu saya harus melakukan sesuatu."

"Apa yang Anda lakukan?" tanya saya.

"Nah, ada seorang perawat yang bertanya kepada saya," kata Dicky. "Ia bertanya apakah saya alergi terhadap sesuatu."

"Ya," jawab saya.

Para dokter dan perawat berhenti bekerja dan menunggu penjelasan saya lebih jauh. Saya menarik nafas dalam-dalam dan berteriak, 'Saya alergi peluru! Tolong keluarkan peluru itu dari tubuh saya'. Itu membuat mereka tertawa. Ditengah tawa mereka, saya berkata, 'Saya memilih untuk hidup. Tolong operasi saya seperti orang yang ingin tetap hidup, bukan seperti orang yang akan mati'.

Dicky bertahan hidup karena kemampuan para dokter yang menangani operasinya, tetapi juga karena sikap hidupnya yang mengagumkan.

Saya belajar darinya bahwa setiap hari Anda punya pilihan untuk menikmati hidup Anda atau membencinya dengan alasan apapun.

Hal satu-satunya yang merupakan milik Anda---sesuatu yang tidak bisa dikendalikan atau diambil dari diri Anda---adalah sikap pribadi Anda. Dan jika Anda menjaga sikap Anda tetap positif, maka hal apapun yang lain dalam hidup ini akan menjadi lebih mudah untuk dihadapi.

Tidak jelas apakah kisah Dicky di atas berasal dari kisah nyata atau rekaan para penganut positive mental attitude. Namun satu hal jelas bagi saya bahwa ada sebuah wilayah dalam diri setiap manusia yang memang tak bisa dipaksa oleh apapun atau oleh siapapun secara mutlak. Dalam wilayah itu, terdapat potensi kemampuan untuk memilih secara relatif bebas. Kita bebas memilih apa yang ingin kita pikirkan, apa yang ingin kita rasakan, apa yang ingin kita katakan, dan apa yang ingin kita lakukan terhadap situasi dan kondisi yang kita hadapi. Kemampuan untuk secara relatif bebas memilih sikap pribadi ada pada kita, ada di dalam diri kita. Kemampuan untuk bisa memilih secara bebas bahkan menjadi salah satu ciri pokok dari keadaan kita sebagai manusia. Kita bukan mesin komputer yang harus menerima diprogram apa saja tanpa bisa menolak sedikitpun. Kita justru adalah pencipta komputer, pencipta program-program yang bisa menganalisis baik-buruknya sebuah program. Kita diberi kemampuan untuk menciptakan sejumlah hal berdasarkan bahan baku yang telah lebih dulu diciptakan Tuhan, Sang Maha Pencipta.

Masalah yang ada kalanya kita lupakan adalah kemampuan untuk secara bebas memilih sikap pribadi dalam situasi yang bagaimana pun itu, melahirkan apa yang menjadi ciri khas manusia yang manusiawi, yakni: tanggung jawab. Dan boleh jadi inilah pokok persoalan yang membuat kita, sadar ataupun tak sadar, lebih suka memilih untuk merasa "terpaksa" melakukan sesuatu yang tak baik. Karena, dengan merasa "terpaksa" kita sesungguhnya ingin lari dari tanggung jawab atas sikap dan perbuatan yang tak baik itu. Kita pura-pura lupa bahwa kita memang memiliki kebebasan untuk memilih sikap tertentu, namun setiap pilihan mengandung konsekuensinya masing-masing, yang mengikat dan menuntut tanggung jawab kita. Mencoba lari dari konsekuensi sebuah sikap yang telah kita pilih itu ibarat koruptor yang mengaku "terpaksa" korupsi karena atasan dan teman-temannya semua korupsi, atau karena gaji yang diterimanya tiap bulan tak mencukupi kebutuhan hidup. Pantaskah ia dibenarkan karena alasan semacam itu?

Sekarang Anda, pembaca tulisan ini, juga diperhadapkan pada beberapa pilihan sederhana: pertama, melupakan tulisan ini begitu saja; kedua, mengambil refleksi untuk menata ulang sikap-sikap pribadi Anda ke arah yang lebih baik; ketiga, mencari seorang kawan untuk mendiskusikan hal ini lebih lanjut; keempat, menggandakan artikel ini untuk orang-orang yang menurut Anda akan memerlukannya; ATAU terserah Anda saja. Saya tak bisa memaksa Anda memilih yang mana, bukan?

Tabik Mahardika! *Andrias Harefa adalah penulis buku-buku best seller, penggagas dan pendiri Pembelajar.Com, dan aktif sebagai pembicara publik. Saat ini, ia menjabat sebagai Executive Director PT. Spirit Mahardika

Have a positive day!

Comments

Popular Posts